Rubrikjambi, Jambi – Karena tidak adanya proses pewarisan pada Dua Bahasa Lokal Jambi yakni Bahasa Kubu dan Bahasa Duano, Kedua bahasa tersebut disebutkan sedang dalam ambang kepunahan, yang mana hal tersebut diutarakan oleh Pengkaji bahasa dan sastra Kantor Bahasa Provinsi Jambi.
Merespon hal itu, Diana Rozelin, Peneliti bahasa lokal Jambi yang juga Dosen linguistik di UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi, membenarkan kemungkinan tersebut dengan mengatakan bahwa banyak faktor yang mungkin menjadi penyebab terjadinya kepunahan dua bahasa tersebut, Kamis, (20/10/2022).
Diana mengungkapkan, untuk buku Duano beberapa faktor-faktor yang mendukung hal itu diantaranya, penggunaan bahasa ibu yang sudah mulai jarang digunakan dalam keluarga inti, anak muda yang malu menggunakan bahasa ibu dalam berkomunikasi dengan teman-teman sebaya, adanya pernikahan antar kelompok/suku yang berbeda, dan rasa cinta pada bahasa ibu yang mulai memudar.
“Pada kelompok Orang Rimba, kondisinya berbeda tergantung wilayah kelompok Orang Rimba itu. Apabila mereka masih tinggal di dalam hutan maka bahasa mereka akan bertahan. Tetapi apabila mereka tinggal di perkebunan atau perumahan yang disiapkan pemerintah seperti di pematang kabau atau di kayu aro maka kebertahanan mereka kurang dan rentan akan kepunahan bahasa,” tambah Diana.
Diana mengatakan, perlunya perhatian dan kebijakan yang mendukung dari pemerintah untuk melestarikan bahasa, sembari memberikan kesempatan pada masyarakat untuk memilih.
“Kalo menurut saya yang berkewajiban dalam menjaganya adalah pemangku kebijakan atau pihak pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Serta beri kesempatan kepada masyarakat untuk memilih apakah mereka ingin melakukan revitalisasi bahasa atau mengikuti bahasa dominan yang selama ini mereka gunakan,” ujarnya.
Diana melanjutkan apabila terdapat keinginan melakukan revitalisai maka pihak kantor bahasa, peneliti, pemerhati bahasa bersama-sama bergerak memberikan support, pembinaan, pelatihan atau kegiatan terkait dengan penghafalan dan pembudayaan bahasa Ibu. Sementara itu, pihak pemerintah memberikan support dalam hal pendanaan, kebijakan-kebijakan yang mendukung kantor bahasa dalam melakukan revitalisasi.
Sebagai cerminan, Diana mengungkapkan, usaha revitalisasi bahasa duano oleh pihak Kantor Bahasa Jambi di daerah Tungkal (Tanjung Jabung Barat), menunjukkan perubahan yang cukup signifikan dimana anak-anak sudah mulai bisa menghitung dengan menggunakan bahasa duano.
“Disisi lain apabila pembinaan ini hanya dilaksanakan dalam kurun waktu beberapa bulan saja, kemudian tidak ada pembinaan lanjutan dari pihak Kantor Bahasa atau Pemerintah setempat, maka saya yakin kondisinya akan sama seperti dahulu. Hal ini bisa terjadi karena rasa cinta pada bahasa ibu yang belum kuat, rasa ingin mempertahankan bahasa yang belum ada,” ujarnya.
Sementara itu, saat ditanya mengenai perlunya mulok (muatan lokal) di bangku sekolah untuk melestarikan bahasa dirinya setuju dengan catatan mulok yang diberikan berbeda-beda tergantung daerah masing-masing.
Karena hampir semua wilayah di Jambi memiliki dialek bahasa Melayu yang beda-beda. Bahasa Kerinci tidak sama dengan dialek Sarolangun, sehingga bahasa Kerinci tidak bisa digunakan di Sarolangun. Jadi ada 1 bahasa yang digunakan pada mata pelajaran mulok, atau masing-masing daerah memiliki mulok yang tidak sama dengan mulok di wilayah lainnya. Misal mulok daerah Sarolangun tidak sama dengan mulok di daerah Tungkal.
Selain itu, ia juga menambahkan usaha pelestarian Bahasa ini juga dapat didukung oleh Lembaga Adat Melayu (LAM) dengan berbagai kegiatan.
“Apabila LAM meyakini bahwa Orang Rimba atau duano sebagai bagian dari orang Melayu Jambi, maka mereka juga harus mensupport Pemerintah/Kantor Bahasa/Akademisi dalam merevitalisasi bahasa kelompok tersebut, dengan cara mengadakan berbagai perlombaan misalnya,” ujar Diana.
Diana kembali menambahkan LAM juga bisa melakukan sosialisasi dalam setiap kegiatan untuk masyarakat Jambi agar mencintai bahasa ibu. Menggunakan bahasa ibu dalam keluarga inti, dan tidak malu berkomunikasi menggunakan bahasa ibu.
“Memberikan pemahaman kepada orang tua agar menggunakan bahasa daerah saat berkomunikasi dengan anak-anak. Tanamkan budi pekerti pada anak-anak berdasarkan budaya Melayu yang turun temurun, serta timbulkan budaya seloko/ berpantun yang menjadi salah satu ikon orang Melayu,” lanjut Diana.
Diana menegaskan, selama tidak adanya proses pewarisan atau pelestarian bahasa yang dilakukan oleh generasi tua kepada kalangan muda, maka kemungkinan kepunahan bahasa tersebut pasti akan terjadi. Ditambah dengan adanya kalangan millenial saat ini yang gengsi untuk menggunakan bahasa tersebut dengan berbagai alasan.
“Jika generasi tua tidak mau menggunakan bahasa daerah dalam keluarga inti, tidak mau mengajarkan kosakata bahasa daerah pada anak, tidak mau menggunakan bahasa daerah saat berkomunikasi dengan sesama teman mereka, maka kemungkinan kepunahan bahasa pasti akan muncul,” tegasnya.
Dosen Linguistik itu juga menekankan, selama masih ada stigma yang tersebar kepada anak muda, yang menjadikan mereka gengsi menggunakan bahasa ibu dalam pergaulan, atau malu karena khawatir dianggap orang miskin, kampungan, maka otomatis kemungkinan kepunahan bahasa tersebut akan bertambah.(Rman)
Discussion about this post