Syafrida Syafruddin
Rubrikjambi, Jambi – Akhirnya, Heriyanti, anak bungsu Akidi Tio, yang berjanji menyumbang 2 Trilyun untuk penanganan Pandemi Covid 19 di Sumatera selatan, dijemput langsung Dir Intelkam Polda Sumsel, Kombes Pol Ratno Kuncoro ke Mapolda Sumsel Senin (2/8/2019). Info terbaru Heriyanti ditetapkan tersangka kasus uang hibah Rp 2 Triliun yang ternyata tidak benar. Peristiwa ini sontak mendapat respon yang ramai dari masyarakat, baik dunia nyata apalagi dunia maya. Bahkan terjadi perang opini antara para buzzer pro rezim, komunitas , tokoh serta aktivis kritis.
Hamid Awaludin, mantan mentri hukum dan HAM menulis sebuah artikel terkait fenomena ini di kompas.id. Beliau memaparkan, Bung Karno pada era ’50-an pernah menerima sepasang suami istri di Istana Negara. Mereka adalah Raja Idris dan Ratu Markonah.
Mereka mengeklaim diri sebagai raja dan ratu dari suku Anak Dalam di Jambi. Mereka mendeklarasikan diri bisa membantu pembebasan Irian Barat. Semua mengagumi kedua orang tersebut. Tepuk tangan dan senyum sumringah para pejabat di negeri ini terhambur lepas. Berbunga-bunga. Hebat.
Kedok penipuan pun tersingkap beberapa hari kemudian. Raja Idris ternyata adalah pengayuh becak, sementara Ratu Markonah adalah pelacur kelas bawah di Tegal, Jawa Tengah. Para pejabat terkibuli secara sistematis, yang sekaligus berarti, dua orang telah melecehkan daya nalar pejabat kita ketika itu.
Kita pernah juga dikagetkan oleh Menteri Agama era Presiden Megawati Sukarnoputri- Said Agil Husin Al Munawar, menjabat pada tahun 2001- 2004. Ia mengklaim bahwa ada harta karun besar yang bisa dipakai untuk melunasi seluruh utang negara. Harta tersebut berupa emas batangan sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran yang tersimpan di bawah Prasasti Batutulis, Bogor.
Menko Kesra ketika itu, Jusuf Kalla, meminta Said Agil datang menemuinya. Kemudian beliau memaparkan bahwa harga emas setiap gram kala itu adalah Rp 250.000 per gram. Maka, untuk melunasi utang pemerintah, kita butuh sekitar 6.000 ton emas batangan. Bila emas batangan tersebut kita angkut dengan truk yang berkapasitas 4 ton, dengan asumsi panjang truk adalah 5 meter, kita butuh jejeran truk sepanjang 5 km. Jusuf Kalla lalu memberi hitungan dengan enteng. Jumlah utang luar negeri kita saat itu, awal tahun 2000, lebih kurang Rp 1.500 triliun Itu artinya, truk-truk tersebut berbaris mulai dari Kebayoran Baru hingga Bundaran Hotel Indonesia.
Kira-kira ada tidak emas batangan sebanyak itu di Batutulis?” tanya Jusuf Kalla. Menteri Agama terdiam lesu.
Sebenarnya deretan kejadian itu bermula dari buruknya kwalitas negara dalam mengurus rakyatnya. Kwalitas ataupun kapasitas negara sangat dipengaruhi mindset atau paradigma pemikiran yang melandasi bangunan bernegara. Sementara bangunan negara-negara saat ini, termasuk semua negeri muslim, mengikuti arah negara adidaya yakni berasaskan ideologi sekulerisme ( pemikiran yang menolak agama/wahyu dalam bernegara dan pengaturan masyarakat oleh negara), artinya sandarannya adalah aqal manusia yang lemah dan terbatas, menafikan Tuhan sebagai Pencipta dan Pengatur( al Khaliq al Mudabbir).
Turunan dari asas ini melahirkan subsistem ekonomi dan politik, kapitalisme dan Demokrasi. Sistem ini yang memandang materi dan aqal manusia sebagai faktor utama, Inilah paradigma kapitalistik sekuler. Format negara kebangsaan dan paradigma kapitalistik sekuler inilah yang menjadikan kapasitas negara dalam kualitas pengaturan dan kepengurusan rakyatnya lemah, rendah dan cenderung tidak manusiawi. kemudian diperparah oleh mentalitas para pejabat negaranya yang inkonsisten, ambigu dan cenderung koruptif. Terlebih dalam menghadapi pandemi Covid 19 ini, sehingga wajar kita mendapati banyak para pejabat, politisi sampai kepada puncak penguasa mengidap ‘mental illnes’, wahm cenderung berhalu. Ini terkonfirmasi dari pernyataan-pernyataan mereka sendiri. Walhasil, dapatlah dikatakan bahwa Ujian Covid 19 ini tidak hanya sekedar wabah penyakit, tetapi juga ujian mental sekaligus mindset. Mindset yang benar akan menghasilkan mental yang kokoh sebaliknya mindset yang lemah akan menghasilkan mental yang rentan.
Faktor kerentanan mental ini menjadi sarana yang subur untuk menerima aneka macam janji manis tawaran tawaran fantastis dan kehaluan – kehaluan lain yang seolah olah akan memberikan solusi, tanpa bisa dikonfirmasi dan divalidasi dengan kaedah berfikir yang benar dan rasional. Apalagi jika didorong motif politik pencitraan bak ‘pahlawan-kesiangan’ ditengah kesusahan rakyat, bukannya menenangkan rakyat , justru memuakkan.
Maka, menurut Hamid Awaludin ada baiknya bangsa ini membuat aturan tentang para pejabat yang memperkenalkan dan mengamini segala ketidakbenaran seperti deretan fakta yang telah melecehkan akal sehat bangsa ini.
Kebaikan dan Kedermawanan yang Sistemik Hanya Dalam Islam
Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّمَا الْمَدِينَةُ كَالْكِيرِ، تَنْفِي خَبَثَهَا وَيَنْصَعُ طَيِّبُهَا
”Sesungguhnya Madinah itu seperti Al-Kiir ( alat peniup api dari kulit yang biasa digunakan oleh pandai besi, pent) yang menghilangkan kotoran-kotorannya dan memurnikan yang baik-baik-darinya.”
Hadits ini menggambarkan tentang pentingnya Islam diterapkan oleh negara, sebagai sebuah sistem kehidupan bagi warga negaranya atau bagi kebaikan kebaikan manusia yang menjadi warganya.
Sebagaimana kita ketahui Madinah adalah tempat awal berdirinya institusi politik Islam alias Daulah Islam pertama. Ketika Rasulullah saw mendapat penyerahan kekuasaan dari Para Pemimpin/ ahlul Quwwah dua suku besar dan berpengaruh di Thaif/ kemudian bernama Madinatul munawwarah, yaitu suku Aus dan Khazraj dilembah Aqabah, maka Rasulullah saw telah meraih faktor penting bagi tegaknya sebuah negara yaitu: Kekuasaan. Setelah tiba di Madinah, beliau saw berkedudukan sebagai Kepala Negara, Qadli dan Panglima militer. Bersamaan dengan itu turun ayat ayat terkait pengaturan rakyat dalam negara dari dimensi ibadah seperti: kewajiban sholat, kewajiban zakat, puasa dll dari dimensi pengaturan hubungan manusia dengan manusia oleh negara seperti penarikan zakat, penerapan hudud, jinayat dll. Begitupun pengaturan politik luar negeri seperti : kewajiban dakwah islam keseluruh negeri negeri yang belum mengenal cahaya Islam, kewajiban Jihad dll.
Inilah masa dimana pertama kali manusia merasakan hidup diatur dengan aturan islam secara kaffah. Postur negara menjadi Benteng Utama atau junnah. Pola kehidupan dijalankan dengan ciri khas dan unik, yang berasaskan aqidah Islam. Berbeda bahkan bertentangan dengan peradaban yang eksis saat itu, yaitu peradaban Romawi dan Persia.
Methode Islam dalam membangun kehidupan bertumpu pada tiga prinsip. Pertama, asas yang mendasarinya Aqidah Islam. Kedua, tolok ukur perbuatan dalam kehidupan adalah perintah perintah dan larangan larangan Allah. Ketiga, makna kebahagian dalam pandangan Islam adalah menggspai redho Allah. Dengan kata lain, kebahagian adalah ketenangan abadi, yang tidak akan tercapai kecuali dengan menggapai redho Allah
Dari sinilah kebaikan, ketinggian akhlaq dan kedermawanan sejati individunya laksana kumpulan mutiara yang berkilau indah. Pribadi pribadi filantropi seperti Abdurahman bin Auf , pebisnis ulung, yang dalam banyak atsar dan riwayat disebutkan menyumbang dengan besaran Empat puluh ribu dirham, empat puluh ribu dinar, dan lima ratus kuda, pada kesempatan lain seribu lima ratus kuda diberikan untuk biaya logistik dan sarana jihad Negara. Empat ratus Dinar emas diberikan untuk korban perang Badar. Semua itu untuk kemaslahatan dan kemuliaan Islam dan umat Islam.
Sahabat Umar ra menyumbangkan separuh hartanya, sementara Abu Bakar ra menyumbangkan seluruh hartanya. Pada masa setelah mereka bertebaran pribadi pribadi filantropi sepanjang sejarah kekhilafahan Islam. itu dilakukan karena adanya ruh, kesadaran sebagai hamba Allah SWT, dalam rangka meraih redho-Nya semata.
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. Al-Taubah: 111
Kebaikan kebaikan itu semakin terpancar masyhur pada masanya di level negara, di level konstelasi dunia. Islam yang diterapkan secara kaffah oleh Kepemimpinan politik global dengan konsep yg sahih, bukan hanya menjadi rahmat bagi rakyatnya tapi juga seluruh alam. Hal ini terus dilanjut oleh para khalifah sehingga mampu mengelola 2/3 dunia selama 13 abad. Peradaban Islam dengan gemilang menebarkan kebaikan melampaui batas negara, Ras bahkan agama. Salah satu contoh yang fenomenal ketika daerah koloni Inggris, Irlandia mengalami bencana kelaparan parah yang menewaskan hampir satu juta manusia. Khalifah Abdul Majid I Turki Utsmani mendengar kabar tentang penderitaan tersebut dari dokter giginya yang berasal dari Irlandia.
Saat itu juga, khalifah menawarkan bantuan sebesar £10.000 atau sekitar USD 1,3 juta saat ini, untuk membantu masyarakat Irlandia yang kelaparan. Namun, Ratu Victoria yang telah mengucurkan bantuan ke Irlandia sebesar £2.000 menolak, karena tersinggung. Akhirnya kapal-kapal Utsmani harus melakukan perjalanan lebih jauh ke utara dan mengirimkan bantuan lewat pelabuhan Drogheda, kota kecil di pingir Sungai Boyne.
Di tempat itulah kedermawanan yang nggak ‘kaleng-kaleng’ dari kekhilafahan Islam Turki Utsmani itu selalu diingat oleh penduduk setempat, meski peristiwa itu sudah berlalu 173 tahun lamanya, meski mereka berada ribuan kilo meter dari Turki, meski mereka bukan warga negara Khilafah Utsmani, meski mereka beragama nasrani.
Kebaikan sejati yang lahir dari sistem yang baik karena berasal dari Dzat yang Maha baik. Allah azza wa Jalla.
Wallahu ‘alam wa ahkam.
Discussion about this post