Oleh Nurul Fahmy*
Untuk DR Dedek Kusnadi
Pemilihan kepala daerah bukan pesta. Momen ini adalah pertarungan. Jargon-jargon pemilu sebagai pesta demokrasi ini cuma diembus-embuskan oleh penyelenggara seperti KPU, dan lembaga lembaga lainnya saja. Namun bagi para kandidat, pilkada (pilgub) adalah pertarungan. Perebutan tahta dan kuasa. Pertaruhan nama besar, keluarga, koneksi dan gengsi.
Ratusan milyar uang yang digelontorkan oleh para kandidat untuk naik ke gelanggang, kok, cuma dianggap pesta-pesta. Itu cuma basa-basi politik saja. Sejatinya ini adalah pertempuran hidup mati, dalam arti yang mendekati sebenarnya.
Dalam banyak pertempuran, mengalahkan lawan sebelum bertarung adalah strategi awal memperbesar peluang kemenangan untuk pertarungan berikutnya.
Menjegal lawan, dengan cara “memborong partai” agar rival tak mendapat rekomendasi partai lainnya, sehingga tak bisa mendaftar ke KPU, adalah awal dari pertarungan itu sendiri. Pertempuran di luar gelanggang. Pertarungan di luar tahapan pemilu. Dan jangan heran, terompet perang itu sesungguhnya telah ditiup sejak dini. Sejak dimulainya lobi-lobi dan transaksi.
Dengan demikian, skenario adu kambing dua pasang dalam Pilgub Jambi, merupakan langkah taktis yang harus dilakukan oleh kandidat mayor. Kandidat yang berpeluang menguasai suara partai di parlemen. Kandidat yang berpeluang meraih suara di atas 20 persen syarat minimal untuk mendaftar ke KPU.
Sebaliknya, skenario empat pasang dalam Pilgub Jambi ini cuma ditiup-tiupkan oleh kandidat minor, kandidat yang tidak memiliki peluang untuk meraih suara di atas 20 persen dari kursi di parlemen. Skenario yang diembuskan oleh tim hore sang kandidat. Sebagai penghibur hati saja. Kandidat ini adalah kandidat yang tidak mungkin bisa mengalahkan lawan sebelum bertarung. Kandidat yang pesimistis.
Skenario adu kambing dua pasang harusnya dijalankan oleh seluruh kandidat. Sebab, empat terlalu banyak, tiga berbahaya. Namun uniknya, bertarung sendirian (melawan kotak kosong) justru lebih beresiko. Biaya operasionalnya jauh lebih besar. Skenario adu kambing, justru memperbesar peluang menang bagi kandidat pemilik dukungan partai politik terbanyak.
Pilgub Jambi 9 Desember 2020
Adu kambing dalam Pilgub Jambi sangat mungkin terjadi antara pasangan Fachrori Umar – Safrial dengan Al Haris dan Abdullah Sani. Artinya dua pasang kandidat lain tersingkir sebelum bertarung. Tidak masuk final. Patah di tengah jalan. Tak mendapat dukungan partai. Suara tak cukup.
Analisa ini muncul sejak terbitnya rekomendasi Gerindra ke pasangan FU-Safrial. Sampai saat ini, pasangan ini sudah mengantongi 9 kursi, 7 dari Gerindra dan 2 dari Hanura.
Kalau pasangan Haris-Sani, kita sudah tahu sejak lama, kursinya cukup, suaranya banyak dan dimungkinkan lebih jika ketua umum PAN segera meneken surat rekomendasi ke pasangan ini. Soal itu, kabarnya tinggal menunggu hari. Sekjend PAN Edy Soeparno adalah kunci. Dia telah memberi sinyal positif arah dukungan itu. Maka dengan PAN, Haris -Sani akan memiliki 18 kursi. 1 Berkarya, 5 PKB, 5 PKS dan 7 PAN.
Pasangan Fasha dengan AJB baru memiliki 5 kursi dukungan. Itupun belum berupa rekomendasi. PPP 3 kursi, Nasdem 2 kursi. Pasangan ini kayaknya cuma berharap pada Demokrat yang memiliki 7 kursi di DPRD, mengingat AJB adalah kader partai ini. Sementara pasangan CE-Ratu, baru beroleh suara Golkar sebanyak 7 kursi. Sejauh ini, tampaknya mereka juga cuma berharap pada PDIP.
Artinya, tinggal dua partai (PDIP dan Demokrat) sebagai penentu dalam Pilgub Jambi saat ini. Apakah para kandidat akan beradu kambing atau maju keempat-empatnya.
Untuk partai berlambang mercy, hingga saat ini berdasar pertanda, gejala dan berita, condong ke FU-Safrial. Meski AJB adalah kader, namun Cik Bur (Burhanuddin Mahir) sebagai Ketua DPD Demokrat, berkali-kali menegaskan, bahwa hanya Fachrori yang mengikuti tahapan penjaringan cakada dalam Pilgub Jambi di partai ini sampai akhir. Dengan demikian peluang Fachrori meraih dukungan Demokrat lebih besar. Meski AJB berkali-kali tampak memposting foto dirinya dengan Agus Harimurti Yudhoyono. Semacam gertakan lah. Gertak sambal.
Sementara partai banteng, masih abu-abu. Dukung Ratu atau FU? Namun berkaca pada gerak PDIP-Gerindra dalam pemilihan kepala daerah di Solo, Tangerang Selatan dan Depok yang berkoalisi, sinyalemen dukungan itu tampak kuat mengarah ke pasangan Fachrori Umar-Safrial dalam Pilgub Jambi. Sejauh ini banyak alasan PDIP untuk mendukung Safrial, baik sebagai kader, maupun kepala daerah, ketimbang Ratu. Alasan kuat lainnya adalah adanya komitmen dua partai ini.
Koalisi “nasi goreng”, koalisi PDIP-Gerindra ini, baik di tingkat daerah maupun nasional, diyakini akan mengacu pada Pilpres 2024 mendatang. Komitmen koalisi untuk menang pada pilpres oleh dua partai ini, sudah pasti harus dimulai dari pilkada, baik pilbub maupun pilgub. Strategi pemenangan koalisi ini untuk pilpres sudah harus diatur sejak di daerah.
Koalisi ini dipastikan juga akan berhadapan dengan koalisi lain, yang juga telah diskenariokan untuk Pilpres 2024 mendatang, yakni poros PAN dan PKS. Maka PAN tak logis akan berkoalisi dengan PDIP-Gerindra yang telah dipegang Fachrori-Safrial seperti kata Dedek Kusnadi dalam tulisannya “Skenario Empat Kandidat”. PAN akan bergabung dengan PKS. Ketum PAN, Zulkifli Hasan telah menegaskan itu. Dedek Kusnadi harus tahu itu.
Percaya tak percaya, Pilgub Jambi adalah adu kuat PDIP, Gerindra, serta partai nasionalis lainnya melawan koalisi PAN, PKS beserta partai nasionalis religius lainnya di daerah. Ini adalah langkah menuju Pilpres 2024.
Demikianlah, “manusia berpikir Tuhan tertawa,” kata Milan Kundera mengutip pepatah Yahudi. Artinya, jangan percaya-percaya amat dengan rencana manusia.
Penulis adalah wartawan
Discussion about this post