Oleh : Dr. Noviardi Ferzi, SE, MM
- Aktivis Federasi Serikat Pekerja (SP) Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI).
Rubrikjambi, Jambi – Meski terkadang dinilai sebagai gerakan politik, peringatan May Day atau perayaan hari buruh internasional setiap tanggal 1 Mei adalah perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya. Keyakinan ini menjadi ideologi akan pergerakan buruh di belahan dunia.
Buktinya bisa dilihat, hampir setiap perayaan May Day, tuntutan buruh tak jauh dari perbaikan kesejahteraan, baik dari sisi regulasi, implementasi, penegakkan hukum hingga peran pemerintah dari sisi anggaran untuk meningkatkan daya beli buruh dan keluarganya.
Gerakan buruh telah lama diusung sebagai media untuk mengantarkan buruh ke pintu gerbang kesejahteraan. Gerakan buruh pada awalnya sebagai reaksi atas penindasan kaum pengusaha. Penindasan tersebut berupa upah rendah, jam kerja panjang, tidak adanya jaminan kerja serta jaminan hari tua.
Dalam konteks nasional sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1905 berdiri serikat buruh kereta api (Staats Spor Bond-SS-Bond). Namun gerakan buruh di Indonesia yang telah berusia lebih dari satu abad tersebut mengalami pasang surut.
Puncaknya pada masa Orde Baru dimana pada saat itu pemerintah menerapkan sistem Single Union. Reformasi pergerakan buruh kembali semarak setelah pemerintah ratifikasi konvensi ILO No. 101 kebebasan buruh untuk berserikat. Adanya ratifikasi tersebut memberikan angin segar bagi kaum buruh karena setiap buruh memiliki hak yang sama dan kebebasan untuk membentuk konfederasi ataupun serikat pekerja.
Tentu saja untuk mewujudkan kesejahteraan buruh memerlukan dukungan politik. Kondisi politik tiap rezim mempengaruhinya dengan signifikan. Alhasil, gerakan tersebut disebut rentan disusupi muatan politik yang tak relevan dengan isu perburuhan, hal ini terjadi lantaran sejumlah pihak kerap memanfaatkan gerakan buruh yang memiliki massa dalam skala banyak untuk tujuan tertentu.
Terkait dengan gerakan buruh sejumlah hal-hal yang bersifat makro telah berhasil disuarakan dan mendorong pemerintah untuk menerbitkan kebijakan. Salah satunya, seperti asuransi atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dimana saat ini, hampir seluruh masyarakat Indonesia yang dapat merasakan manfaat kebijakan yang didorong lahir dari gerakan buruh ini.
Meski demikian, gerakan buruh di Indonesia belum berjalan dengan efektif. Terbukti, lanjutnya, sejumlah isu yang dibawa lewat gerakan buruh tidak seluruhnya terealisasi. Seperti berbagai gerakan buruh yang mengadvokasi hal-hal tidak sesuai atau kurang relevan dengan substansi buruh, seperti menyinggung kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) pemerintah.
Berangkat dari itu, kita berharap, gerakan buruh yang rencanya terselenggara dalam menyambut Hari Buruh Internasional (May Day), Sabtu (1/5/21) mendatang menyuarakan isu-isu aktual yang lebih sesuai dengan substansi.
Kesejahteraan buruh Pasca OMNIBUS LAW
Pasal empat pasal di BAB IV Ketenagakerjaan omnibus law UU Cipta Kerja sangat penting untuk disuarakan dalam peringatan hari buruh kali ini, karena pasal tersebut berdampak langsung pada kesejahteraan buruh.
Keempat pasal ini yaitu sebagai berikut:
- Jam Lembur
Sebelumnya pada Pasal 78 ayat 1 butir b UU Ketenagakerjaan, waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu. Tapi, Omnibus Law mengubah lembur menjadi paling lama 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu.
Pada 2019, terdapat 39,1 juta pekerja Indonesia yang bekerja 41 hingga 54 jam per pekan. Lalu, 21,1 juta pekerja Indonesia bekerja di atas 54 jam per pekan.
Jika jam kerja ditingkatkan, maka waktu luar akan berkurang. Kondisi ini berpotensi memperburuk kondisi working life balance para pekerja.
- Sistem Kontrak
Dalam Pasal 59 ayat 4 UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Dalam Omnibus Law, batasan perpanjangan waktu kontrak ini yang dihapus. Ketentuan lebih lanjut hanya diatur Peraturan Pemerintah (PP). Tentu dihapusnya ketentuan ini berpotensi melahirkan pekerja kontrak seumur hidup.
Pada prakteknya pekerja tidak tetap memiliki rata-rata upah yang lebih rendah dibandingkan pekerja tetap. Di Jawa, 62 persen pekerja tetap memiliki upah di atas Upah Minimum Kabupaten Kota (UMK). Sementara, hanya 24,6 persen pekerja tidak tetap yang memiliki upah di atas UMK.
- Sistem Pengupahan
Dalam UU Ketenagakerjaan, hanya disebutkan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Tapi di Omnibus Law, ada ketentuan baru yang diselipkan terkait sistem penentuan upah, yaitu Pasal 88B.
Di dalamnya, di atur bahwa upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil yang dibiarkan mengambang dan diserahkan sepenuhnya pada PP.
Sudah barang tentu perubahan ini akan memiliki dampak signifikan terhadap besaran upah yang akan diterima oleh pekerja. Datanya yaitu:
- Dari 37,4 juta pekerja upah bulanan, 23,3 juta atau 63 persen memiliki upah di atas Upah Minimum Provinsi (UMP).
- Dari 9,6 juta pekerja upah mingguan, 3,1 juta atau 33 persen di atas UMP.
- Dari 10,5 juta pekerja upah harian, 1,7 juta atau 16,2 di atas UMP
- Dari 2,3 juta pekerja borongan, 500 ribu atau 21,7 persen di atas UMP
- Dari 3,9 juta pekerja upah per satuan hasil, 500 ribu atau 12,8 persen di atas UMP
Artinya upah satuan waktu atau satuan hasil memberikan tingkat upah yang lebih rendah.
- Upah Minimum
Dalam UU Ketenagakerjaan, upah minimum diarahkan kepada pencapaian kebutuhan layak. Tapi pada Omnibus Law, upah minimum diterapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
Dimana semula dalam Pasal 88 ayat 4 UU Ketenagakerjaan, memang disebutkan bahwa pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan mem-perhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam Omnibus Law, pasal ini dihapus. Tapi sebenarnya masih tersisa satu ayat 2 yang menyebutkan bahwa pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Tantangan Kesejahteraan Buruh di tengah Pandemi.
Tahun ini, 2021, perayaan May Day masih memiliki kekhususan dan keprihatinan yang mendalam, yaitu akibat pandemi Covid-19 dan berlakunya RUU Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan.
Di masa Pandemi Covid-19 ini keselamatan buruh dipertaruhkan, di mana buruh masih banyak yang terus bekerja di pabrik-pabrik. Khusus untuk tenaga kerja medis yang banyak menjadi korban Covid-19 tentunya ini menjadi keprihatinan bagi semua.
Tidak hanya dari sisi kesehatan dan keselamatan jiwa tetapi juga dampak ekonomi yang dialami pekerja karena covid-19 ini juga menjadi persoalan besar. Semakin banyaknya pekerja yang ter-PHK dan dirumahkan tanpa upah, dan semakin besarnya jumlah pekerja informal yang tidak bekerja lagi karena adanya PSBB merupakan fakta ancaman bagi pekerja untuk meraih kesejahteraannya.
Apalagi bantuan pemerintah terhadap korban PHK atau dirumahkan tanpa upah, dan pekerja informal yang tidak bisa bekerja lagi yang dikemas dalam program Kartu Prakerja ternyata belum mampu membantu pekerja.
Oleh karenanya atas pandemi Covid-19 ini maka opsi meminta agar pemerintah memastikan jaminan kesehatan bagi pekerja yang masih bekerja agar terhindar dari Covid-19, khususnya pekerja yang rentan terkena yaitu para pekerja medis. Pemerintah harus menjamin tersedianya APD dan vaksin bagi para pekerja, termasuk pelaksanaan jaminan sosial yang mampu melindungi pekerja. Karena di masa Pandemi sesungguhnya kesejahteraan buruh itu berawal dari kesehatan. Setidaknya isu ini yang bisa disuarakan pada Mayday tahun 2021 ini, Salam. !
Discussion about this post